Poldakaltim.com, SAMARINDA,– Polri  saat ini sudah menetapkan satu tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pelabuhan Peti Kemas, Samarinda dan Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) Samarinda. Satu tersangka itu adalah sekretaris Komura berinisial DHW, sementara uang Rp6,1 miliar diduga sebagai uang hasil kejahatan.
“Penyidik sudah tetapkan satu tersangka, yakni Sekretaris Komura Samarinda dan masih akan berkembang lagi. Beberapa saksi-saksi di samping orang-orang yang diamankan dalam OTT terus kami lakukan pemeriksaan, termasuk Jafar Al Gafar selaku ketua koperasi Komura,†kata Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana, didampingi dan Direktur Reskrimsus Polda Kaltim Kombes Pol Nasri, Sabtu (81/3/2017).
Penetapan tersangka sekretaris Komura itu berdasarkan Pasal 368 KUHP, dan atau Pasal 3,4,5 UU No 8/2010, dan atau Pasal 12e UU No 31/1999 Jo 56 KUHP. Sedangkan untuk barang bukti uang sebesar 6,1 milyar yang diamankan di kantor Komura di duga merupakan uang hasil kejahatan (Corpora delict).
“Karena berdasarkan keterangan dari bagian keuangan PT. PSP (PT. Pelabuhan Samudera Palaran, selaku pengelola Terminal Petikemas Palaran, Red) serta alat bukti yang ada, bahwa selama kurun waktu satu tahun 2016-2017, PT PSP telah melakukan pembayaran sebanyak kurang lebih Rp. 31 milyar,†kata Ade Yaya Suryana.
OTT pada Jumat (18/3/2017) yang dipimpin langsung Bareskrim Polri bersama  Kapolda Kaltim Irjen Pol Drs. Safaruddin dengan mengerahkan tim gabungan dari Bareskrim Mabes Polri, Brimob Polda Kaltim, Polresta Samarinda di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, Samarinda yang dikelola oleh PT. Pelabuhan Samudera Palaran (PT. PSP) dan Kantor Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) telah mengamankan lebih dari 24 orang, dan uang lebih dari Rp6,1 milyar.
Dalam pemeriksaan lanjutan, tim penyidik menemukan fakta-fakta bahwa Komura tidak memiliki legalitas untuk melakukan TKBM (tenaga kerja bongkar muat) di TPK Palaran, Samarinda. Selain itu TPK Palaran juga tidak memerlukan TKBM banyak, karena proses bongkar muat menggunakan craine, sehingga dalam hal proses bongkar muat, kebutuhan TKBM disesuaikan permintaan TPK Palaran.
“Namun Komura mengharuskan TPK palaran menerima jasa TKBM sesuai tarif dan jumlah yg ditetapkan secara sepihak, atas aktifitas bongkar muat di TPK Palaran. Ini merupakan tindakan premanisme atau pemerasan. Sebab, apabila tidak diberikan, pihak Komura akan melakukan aksi yang dapat menghambat proses bongkar muat di TKP Palaran,†kata Ade Yaya Suryana.
Kabid Humas Polda Kaltim menambahkan berdasarkan kesimpulan tim penyidik, tindak kriminal yang dilakukan Komura yakni setiap kapal yang akan bongkar muat diminta tarif TKBM sebesar Rp. 182. 780 per kontainer ukuran 20 feet, dan Rp. 274.167/ kontainer 40 feet. Tarif ini dimintakan kepada PT PSP selaku pengelola TPK Palaran.
“Biaya TKBM diminta Rp5 juta dimuka dan sisanya setelah kontainer diturunkan,†kata Ade Yaya Suryana.
Pelanggaran Pelanggaran Yang Ditemukan di Komura
Selain uang yang disita itu yang dugaan kuat sebagai hasil kejahatan, aparat kepolisian juga menyimpulkan pelanggaran-pelangaran yang dilakukan oleh Komura.
Pertama, Komura terbukti telah melakukan pemerasan dengan cara menolak mengikuti pedoman penentuan tarif bongkar muat yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Permenhub KM No 35 tahun 2007 tentang Pedoman Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan.
Kedua, Komura menentukan tarif secara sepihak dan menolak untuk berdiskusi dengan PT PSP selaku Penyedia Jasa Bongkar Muat di Pelabuhan Palaran. Serta menerapkan tarif jasa kepelabuhanan yang seharusnya diterapkan di pelabuhan konvensional dimana jasa TKBM merupakan komponen utama. Hal ini seharusnya berbeda dengan mekanisme
“Tarif yang seharusnya diterapkan di TPK (Terminal Peti Kemas), dimana jasa TKBM seharusnya berdasarkan permintaan TPK Palaran serta dimasukan ke dalam paket CHC ( Container Handling Charge) sehingga biaya TKBM tidak dibebankan kepada pemilik barang,†jelas Ade Yaya Suryana.
Pelanggaran ketiga yaitu, Komura telah melakukan ancaman terhadap perwakilan PT. PSP pada saat perundingan penentuan tarif bongkar muat bersama dengan Pelindo dengan cara menolak untuk berunding dan membawa massa di luar lokasi perundingan untuk mengintervensi pembentukan keputusan penentuan tarif tersebut.
Keempat,  Komura memaksakan pemungutan uang di luar haknya dimana Komura menolak mengikuti mekanisme penentuan tarif pelabuhan dan memilih untuk menetapkan tarif diluar pelayanan/ jasa yang diberikan yang bertentangan dengan Pasal 3 huruf b butir 5 Inpres No 5 tahun 2005, Pasal 109 UU 17 tahun 2008 dan PM 61 tahun 2009 yaitu penarikan tarif kepelabuhanan harus disesuaikan dengan jasa yang disediakan.
(Humas Polda Kaltim)